Sejarah Pelabuhan Paotere , Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo

ASPEKSINDO – Pelabuhan Paotere memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Kota Makassar. Terletak di bagian utara (tepatnya Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah), masyarakat mengenalnya sebagai bandar perahu rakyat.

Setiap hari, perahu-perahu merapat membawa berbagai jenis barang. Proses bongkar muat dimulai sejak pagi buta hingga malam menjelang. Selain itu, Paotere juga mahsyur berkat status sebagai pusat belanja tangkapan laut para nelayan. Semua dijajakan dalam kondisi segar.

Nah, daerah sekitar Paotere pun jadi pusat seafood andalan masyarakat Makassar. Rumah-rumah makan dan restoran siap memanjakan lidah pengunjung. Alhasil Paotere masuk dalam daftar kawasan kuliner wajib dikunjungi para turis saat berlibur ke ibu kota Sulawesi Selatan (Sulsel).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Paotere mengiringi perkembangan Makassar. Dalam buku Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti (Yayasan Losari, 2000), pelabuhan yang berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota ini sudah beroperasi sejak abad ke-16.

Catatan sejarah menyebut bahwa pelabuhan Paotere dibangun oleh Raja Tallo ke-2, Karaeng Same’ri Liukang (Samarluka) Daeng Marewa, yang memerintah pada abad ke-15. Pelabuhan ini pula yang menjadi titik pemberangkatan 200 kapal perang, sebagai bagian dari ekspedisi militer ke Malaka dan Kesultanan Samudera Pasai, di tahun 1420 (Zainal Abidin, Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum dan Dunia Luar, Alumni, 1983).

Paotere turut jadi bukti hubungan antara kerajaan-kerajaan di Sulsel dengan Portugis. Meski sudah disebutkan dalam catatan bendahara Kerajaan Portugis, Tomé Pires, yang berjudul Suma Oriental. Catatan bertarikh dari 1512 dan 1515 itu menyebut Makassar sebagai “pulau kaya rempah dan emas.”

Yang menarik, dalam pengetahuan pelaut Portugal atau Portugis saat itu, Makassar adalah sebuah pulau sendiri (Os Macasare) dan terpisah dari Sulawesi (Celebes).

Hubungan Diplomatik Portugis dan Makassar

Dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1985), perwakilan Portugis di Malaka mengirim utusan untuk menghadap Raja Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Tuma’parisi’ Kallonna, pada 1538.

Tak perlu waktu lama, hubungan dagang kemudian terjalin dengan Gowa-Tallo. Kapal-kapal dagang Portugis mulai merapat di Pelabuhan Sombaopu. Perwakilan dagang (loji) milik Portugis pun didirikan di sekitar Sombaopu.

Sebagian dari mereka pun menetap dan kawin-mawin dengan warga lokal. Salah satunya yakni Francisco Mendez, anak Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-XIV, memerintah 1593-1639) dari pernikahannya dengan wanita Portugis. Kelak Francisco Mendez menjadi sekretaris Raja Gowa ke-XV, Sultan Malikussaid (bertahta 1639-1653), yang tak lain adalah saudara tirinya (Zainuddin Tika, Makassar Tempo Doeloe, Pustaka Taman Ilmu, 2019).

Saat VOC yang berhasil merebut bandar Malaka dari Portugis pada Januari 1641, terjadi pengusiran 20.000 orang Portugis. Gowa-Tallo, melalui titah Sultan Malikussaid, menerima pengungsi sebanyak 3.000 orang.

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *